Sejarah Awal
Mula Rivalitas Barcelona vs Real Madrid
Assalamualaikum para pembaca setia :D
khususnya penggemar Real Madrid dan Barcelona nih, disini ane sekedar berbagi informasi aja tentang sejarah awal rivalitas kedua klub di Ranah Spanyol tersebut. Langsung aja gan dibaca :)
sejarah awal rivalitas real madrid vs barcelona
Klub sepakbola Barcelona didirikan tahun 1899 oleh seorang
kelahiran Swiss bernama Hans Gamper (yang sama seperti Anda, saya pun tidak
kenal). Dia membentuk klub sepak bola yang berisi pemain-pemain dari Swiss,
Inggris, dan Catalan (satu suku bangsa di Spanyol). Gamper mencetak 103 gol
antara tahun 1901 sampai 1903 dan menjadi Presiden klub sampai kematiannya
tahun 1930. Stadion Barcelona pertama dibangun tahun 1909 dengan kapasitas
penonton 6000 orang. Pertama kali Barcelona menjadi juara liga spanyol adalah
tahun 1929, hanya 1 tahun sebelum kematian Gamper. Pada waktu itu, Barcelona
sudah menjadi tim yang disegani dan sudah bisa merekrut pemain-pemain asing
seperti Hector Scarone (Uruguay). Akan tetapi pemain yang mungkin “paling” terkenal pada zaman
ini adalah sang kiper, Ricardo Zamora.
Zamora terkenal karena 2 alasan.
Pertama, nama dia diabadikan sampai sekarang sebagai nama piala penghargaan
untuk kiper terbaik di liga spanyol setiap tahunnya. Kedua, dia adalah pemain
pertama yang menapaki jalan transfer yang paling berbahaya di spanyol: Pindah
dari Barcelona ke Real Madrid.
Permusuhan antara Barcelona dan Real Madrid bermula pada masa
Franco. Siapa Franco ini? Dia adalah seorang Jenderal yang menjadi penguasa
diktator di Spanyol pada tahun 1930-an. Barcelona, sampai sekarang, adalah
“ibukota” dari Provinsi Catalonia, yang sebagian besar penduduknya adalah dari
suku bangsa Catalan dan Basque. Sejak dulu, orang-orang catalonia ini
menganggap diri mereka bukan bagian dari Spanyol, dan merupakan bangsa yang
berada di bawah “penjajahan” Spanyol.Franco kemudian bertindak lebih
jauh. Josep Suñol, Presiden Barcelona waktu itu, dibunuh oleh pihak militer
pada tahun 1936, dan sebuah bom dijatuhkan di FC Barcelona Social Club pada
tahun 1938. Di lapangan sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada
tahun 1941 ketika para pemain Barcelona “diinstruksikan” (dibawah ancaman
militer) untuk kalah dari Real Madrid. Barcelona kalah dan gawang mereka
kemasukan 11 gol dari Real Madrid. Sebagai bentuk protes, Barcelona bermain
serius dalam 1 serangan dan mencetak 1 gol. Skor akhir 11-1, dan 1 gol itu
membuat Franco kesal. Kiper Barcelona kemudian dijatuhi tuduhan “pengaturan
pertandingan” dan dilarang untuk bermain sepakbola lagi seumur hidupnya.
Sejak saat itu FC Barcelona
menjadi semacam klub “anti-franco” dan menjadi simbol perlawanan Catalonia
terhadap Franco, dan secara umum, terhadap Spanyol. Ada juga klub-klub lain di
Catalonia seperti Athletic Bilbao dan Espanyol. Athletic Bilbao sampai saat ini
tetap pada idealismenya untuk hanya merekrut pemain-pemain asli Basque, tetapi
dari segi prestasi tidak sementereng Barcelona. Demikian juga dengan Espanyol.
Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan
Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid.
Sebagai sebuah simbol perlawanan,
kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun
pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.
Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid
(dan bagi orang Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona
pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang
adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol
perlawanan.
Pada tahun 50-an dan 60-an, Barca
memang tertutup oleh kejayaan Real Madrid yang waktu itu diperkuat Ferenc
Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai anak emas Franco sejak tahun 1930-an, Real
Madrid memang selalu memiliki sumber dana besar untuk belanja pemain. Barcelona
sendiri, pada 2 dasawarsa tersebut hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2
kali piala raja, dan satu kali piala Inter City Fair (yang kemudian menjadi
UEFA Cup).
Franco melarang penggunaan
bendera dan bahasa daerah Catalan. FC Barcelona kemudian menjadi satu-satunya
tempat dimana sekumpulan besar orang dapat berkumpul dan berbicara dalam bahasa
daerah mereka. Warna biru dan merah marun Barcelona menjadi pengganti yang
mudah dipahami dari warna merah dan kuning (bendera) Catalonia.
Rivalitas Hingga Kini
Pada tahun 1973, seorang pemain
Belanda yang kelak menjadi salah satu legenda Barcelona, Johan Cruyff,
bergabung dari Ajax. Dalam pernyataan persnya ketika diperkenalkan, Cruyff
menyatakan bahwa ia lebih memilih Barcelona dibanding Real Madrid karena ia
tidak akan mau bermain di sebuah klub yang diasosiasikan dengan Franco. Bersama
kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona memenangi
gelar liga spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar), dan dalam
prosesnya tahun itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang Madrid sendiri
dengan skor 5-0 (!).
Pada tahun itu Johan Cruyff
dinobatkan sebagai pesepakbola terbaik Eropa, dan memberi nama anaknya dengan
nama khas Catalan, yaitu Jordi. Statusnya sebagai legenda menjadi abadi. Jordi
Cruyff sendiri pada akhirnya tidak pernah bisa sebesar ayahnya. Karir
sepakbolanya lebih banyak dihabiskan di klub-klub medioker, meski sempat
beberapa tahun memperkuat Manchester United.
Selanjutnya, permusuhan itu terus
ada, meskipun tidak sesengit pada tahun-tahun awalnya, sampai sekarang. Bisa
dibilang, rivalitas saat ini sudah lebih sportif dan berjalan dengan lebih
“sehat”. Tapi permusuhan yang sejak dulu telah begitu mengakar menjadikan duel
diantara keduanya selalu menjanjikan sesuatu yang spesial. Inilah mengapa duel
antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap
tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan
satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.
Meski berulang setiap tahun, akan
tetapi saking monumentalnya duel ini membuat Johan Cruyff dan Bobby Robson
ketika menjadi pelatih Barcelona pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an
sampai mengibaratkan el classico sebagai sebuah “perang”, bukan sekedar
pertandingan sepak bola. Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona
ketika menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan serdadu
perang, bukan sebuah kesebelasan sepak bola, karena begitu besarnya kehormatan
yang dipertaruhkan. Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia
diangkat sebagai pelatih seolah sudah ada beban yang diberikan oleh klub: Anda
boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi JANGAN sampai kalah dari Real
Madrid!
Meski begitu di dalam lapangan,
“peperangan” ini sepanjang sejarahnya selalu berlangsung dalam sportifitas yang
tinggi, karena sportifitas pun merupakan satu bentuk kehormatan yang harus
dijaga. Ini soal nama baik.
Transfer pemain adalah salah satu
bentuk perang di luar lapangan. Dalam hal ini, perpindahan pemain dari
Barcelona ke Real Madrid (maupun sebaliknya) akan dianggap sebagai sebuah
bentuk pengkhianatan.
Luis Figo mungkin adalah salah
seorang yang paling mengerti mengenai hal ini. Direkrut oleh Barcelona pada
tahun 1996, pemain Portugal yang kala itu “bukan siapa-siapa” tersebut kemudian
menemui masa-masa jayanya. Barcelona memberinya peranan signifikan sebagai
sayap kanan tim, dan bersama Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun
1990an. Akan tetapi, pada tahun 2001, dunia tersentak ketika Figo menerima
tawaran Real Madrid dengan iming-iming gaji dua kali lipat dan nilai transfer
yang ketika itu menjadi rekor pembelian termahal seorang pemain sepak bola.
Nilai itu melebihi batas klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus
menerima tawaran tersebut berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu, transfer itu
tetap tidak akan terjadi seandainya Figo secara pribadi tidak menerima tawaran
Real Madrid. Toh akhirnya Figo berkhianat.
Dalam duel el classico tahun
berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang Barcelona),
Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan dilupakannya seumur
hidup. Seorang pendukung Barcelona di tengah-tengah pertandingan berhasil
menerobos pagar petugas keamanan, sambil memakai bendera Barcelona sebagai
jubah, kemudian berlari ke arah Figo membawa sebuah hadiah istimewa: sebuah
kepala babi, lengkap dengan sedikit darah masih menetes dari lehernya. Ia
kemudian melemparkan bendera Barcelona dan kepala babi itu ke arah Figo. Figo
sendiri hanya terdiam menunduk beberapa saat, lalu berjalan menjauh. Entah apa
yang ada dalam pikirannya saat itu, karena ia tahu kepala babi itu adalah
simbol keserakahan dan pengkhianatan.
Ini gotonya gan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar